Thursday, June 07, 2007

Lessons

Apa yang sering dipelajari anak kecil dalam keluarga? Dalam masyarakat? Hari ini aku ingin sedikit bercerita, membiarkan yang membaca mengintip sedikit ke dalam kenanganku.
Saat aku kecil, di rumah aku diajarkan untuk sopan, jangan lupa bilang terima kasih, jangan omong kotor, dan selalu jujur. Tambahan lagi, kata kunci lain, ”Mama ga akan pernah ninggalin kamu kok.” Hal ini jadi peganganku, sehingga kalau aku kehilangan orangtua di mall, aku malah langsung menuju informasi, aku bahkan ga menangis waktu dimasukkan ke playgroup pertama kalinya, ga seperti anak lain yang sampai menangis jerit-jerit. Karena aku percaya.
Masih banyak pendidikan di keluarga, tapi yang ingin lebih aku ceritakan sebenarnya adalah kejadian-kejadian sepanjang 17 tahun ini yang memberikan pelajaran, mengubah sifat, membentuk aku yang sekarang.

Lesson 1: Janji

Kami berdua saling berhadapan, berdiri di bagian ruang bermain. Aku melihat ke arah ibu guru itu, agak samar kuingat wajahnya, yang pasti aku dapat melihat pintu menuju kelas TK ku saat itu sebagai latar tempat dia berdiri.
” Ibu, ibu, katanya ibu mau marahin dia?”
“ Ya, nanti pasti ibu marahin.”
Ibu guru itu berlalu, tapi bukan seperti yang kuharapkan, dia hanya berlalu begitu saja.

Itu adalah sedikit kenangan samar yang kuingat di antara bayang samar tentang masa-masa di TK. Aku masih ingat kenapa aku sampai berkata seperti itu. Aku bertanya baik-baik, bukan karena aku manja dan harus selalu dituruti (manja bukan hal yang dipelihara di keluargaku, karena Mama tegas dan aku pada dasarnya selalu dibilang anak penurut), tapi karena aku begitu kesal. Pada waktu itu, seorang anak, sebut saja oknum X, adalah ’tuan putri’ yang selalu dituruti oleh semuanya; ia menguasai daerah masak-masakkan yang digemari anak perempuan. Hanya anak perempuan yang mau disuruh-suruh olehnya boleh ikut bermain di situ, anak-anak seperti aku (aku rasa malah hanya aku) yang ga menerima harus disuruh-suruh tanpa alasan bakal terusir dari zona itu. Terdepak, atau apalah istilahnya, intinya dikucilkan. Aku yang waktu kecil cuek, dengan sakit hati yang tidak seberapa memilih minggir, main balok-balokan, tempat anak-anak laki-laki main. Tapi ga berapa lama, si X akan datang, bilang, ”Kita baikan ya?”, lalu mengajak aku main, gara-garanya dia butuh balok itu untuk bahan makanan (katanya sih tahu, atau semacamnya, namanya juga anak TK, agak ga jelas kan) dan karena aku anak perempuan yang ada di situ, mau ga mau dia harus minta tolong aku. Anehnya, hal ini hanya berlaku saat itu, waktu ’bahan masakan’ lengkap besoknya, hal yang terjadi adalah aku disingkirkan lagi. Hal ini berulang, sampai rasanya seperti ritual. Ga tahan dengan keadaan ini, aku lapor pada ibu guru, si ibu bilang dia akan memarahi anak itu. Kutunggu dengan kepercayaan anak kecil bahwa perkataan orang dewasa bisa dipegang, dengan prinsip yang aku sendiri pegang bahwa janji harus ditepati, aku menunggu, menunggu, tapi hal itu ga kunjung ditepati si ibu. Lalu yang terjadi selanjutnya adalah adegan di atas. Usut punya usut, X itu kesayangan guru (yah, namanya juga manusia, ga mungkin lah seorang guru adil banget?), pintar, cantik, dan blablabla semacamnya, jadi guru itu kayanya ga percaya sama omonganku. Ironis juga sih kalau dipikir, aku bukan anak yang senang bohong, tapi ternyata itu ga cukup di mata orang dewasa bernama ibu guru. Sejak itu aku memilih ga melakukan, menanyakan, atau menyinggung hal itu lagi tiap bicara dengan ibu guru. Sia-sia saja, toh aku tahu hal itu ga akan ditepati oleh dia. Ini adalah pelajaran, bahwa TIDAK semua ucapan pasti ditepati, bahwa orang akan selalu dibedakan, bahwa status pasti lebih diperhatikan. Bahwa orang yang ikut arus dipercaya akan selalu selamat (tapi aku tetap ga setuju dengan pandangan yang terakhir sampai sekarang).


Lesson 2: Best Friend

Saat kita duduk di awal bangku SD, atau paling tidak pada awal saat aku duduk di bangku SD, kalau dipikir-pikir lagi sekarang, teman baik itu lebih mengarah kepada ’kepunyaan’, ’kepemilikan barang dengan persetujuan dua belah pihak’ yang bisa dipamerkan, pelengkap status. Haha..mungkin juga itu hanya pandanganku tentang peristiwa saat itu. Yang pasti banyak terdengar kalimat seperti, ” Si A kan teman baikku” pada saat itu. Yah..teman datang dan pergi, aku pernah berteman baik dengan beberapa orang, yang kemudian pergi, dan tergantikan. Yang paling aku ingat adalah, sebut saja oknum C. C itu adalah teman baikku saat itu, kita main bersama, bareng terus, curhat ala anak perempuan SD, dan semacamnya. Persis apa yang dilakukan semua teman baik. Tiba-tiba datang oknum T, oknum ini pada akhirnya pun tidak pernah bisa cocok denganku. Tapi, ayo kembali ke permasalahan, si T ini adalah anak perempuan juga pastinya, dan entah bagaimana dia mengaku-ngaku si C adalah teman baiknya dan aku bukan siapa-siapa si C (kira-kira begitu, deh), aku yang memang gampang panas langsung marah mendengarnya. Cepat-cepat aku datangi si T, marah padanya, bilang kalau C adalah teman baikku, tentang aku sudah lama berteman dengan si C, mempertanyakan balik ’siapa-sih-kamu-tiba-tiba-aja-datang’. Hal ini langsung dibalas dengan argumen dari dia bahwa sekarang C adalah teman baiknya, bahwa karena kedua orangtua mereka berteman baik, maka sudah sewajarnya mereka berdua otomatis berstatus teman baik. Aku bengong, bingung dengan ketentuan yang menurut aku aneh, kok bisa begitu, bagaimana bisa sih cara otomatis begitu? Orangtua dan anak kan berbeda, apa harus seperti itu? Pertengkaran aku dengan T terjadi bukan hanya sekali, tapi sampai beberapa bulan. Aku ngotot, T juga dengan percaya diri sama ngototnya. Pertengkaran kami bisa berdampak macam-macam; aku nangis, dia nangis, bentak-bentakan, pukul-pukulan, guru datang, kami dimarahi, AKU dimarahi. Dan seringnya, entah kenapa aku dimarahi lebih lanjut. Kalimat ’anak manja karena anak tunggal’ jadi sering kudengar, juga kata ’egois’. Kalimat itu kubenci sampai hari ini, kenapa orang memandang orang lain dari satu sisi? Tahu darimana aku manja, padahal kenyataannya aku tidak seperti itu, aku dibesarkan sama dengan yang lain (konsep kalau TIDAK ya tidak, orangtua tahu apa yang baik buatku itu berlaku). Aku curhat pada Mama, beliau bilang bahwa teman baik itu ga bisa dipaksakan dan supaya minta C saja memilih. Dan itu kulakukan. Cape menunggu jawaban C yang serba ragu-ragu, akhirnya si C bilang dia lebih memilih T, dengan alasan sama seperti T bilang. WOW! Apakah memang pemikiranku agak aneh atau bagaimana sih? Terus terang aku shock juga waktu itu, harapanku C akan memilih pertemanan kami. Mungkin kalah bukan kata yang tepat, tapi pada saat itu aku kecewa dan ’patah hati’ rasanya. Haha. Dari situ aku belajar tentang bagaimana orang dengan seenaknya bisa merebut hak milik orang lain, perbedaan pandangan yang tidak bisa aku terima, pandangan satu sisi orang lain yang ditujukan buatku, sakitnya dikhianati orang yang kita sayang. Terpatri. Kenangan ini tidak kuingat dengan jelas dari segi visual, tapi lebih kepada perasaan. Sakitnya luar biasa.


Lesson3: Boy Friend

Kelas 5 dan 6 SD adalah waktu di mana kata ’pacar’ jadi benar-benar populer, sama halnya dengan anak-anak laki-laki waktu itu heboh tentang ’ilmu pengetahuan tentang wanita’. Hahaha... Waktu itu aku ’suka’ pada seorang anak laki-laki yang dilihat dari segi wajah sih ga ada bagus-bagusnya deh (herannya saat itu terlihat cakep, hehe..), tapi dari segi gaya sih dia terlihat lebih dewasa daripada yang lain-lain. Ceritanya kupersingkat deh, pada akhirnya aku ’jadian’ dengan anak itu. Tapi lebih berupa status saja, Tiap ketemu aku malah ga berani liat dia, ga berani ngomong duluan, malah aneh dan makin jauh. Tambah lagi aku dengar dia akhirnya suka dengan si I. Belum parah keadaan, mantan pacarnya (ga usah kaget, aku juga bingung gimana caranya anak SD kelas 5an bisa punya mantan) masih ga rela, dia dan gengnya malah memusuhi aku ( ya ampun, kaya di sinetron banget kan? Tapi ini kenyataan lho. Lucu sih kalau dipikir sekarang). Singkatnya lagi, aku ’putus’. Haha..putus apa juga yah, pacaran aja kayanya ga deh..Cuma numpang status aja. Makanya sampai sekarang yang satu ini ga pernah masuk daftar mantan. Tapi aku sedih juga waktu itu. Apalagi dia bilang dia ga begitu suka aku sebenarnya, gara-gara aku ga agresif, ga berani, dan ga mau inisiatif duluan. Dalam pikiranku waktu itu, yang namanya anak laki-laki lah yang pantas seperti itu, kalau perempuan yang begitu kok kayanya centil amat. Waduh, repot banget ya? Konsep kita beda dan ini adalah pelajaran tentang cinta monyet yang benar-benar monyet deh. Selanjutnya aku rasa memang anak ini aneh, karena setelah lwat kejadian itu agak lama, dia bilang ke temannya kalau aku kelewat centil. Lho?!


Lesson 4: Hell
Ini adalah kisah saat aku berada di kelas 2 SMP dan berada di kelas yang seperti neraka. Kenapa neraka? Bukan karena saingannya, bukan karena kelasnya itu sendiri, tapi karena orang-orangnya. Lebih tepatnya anak laki-lakinya. Pada saat itu apapun yang aku lakukan dianggap ’salah’, apapun yang aku pakai akan mereka anggap ’salah’. Mereka bilang aku sengaja begini lah, aku begitu lah, banyak macam hal mereka bilang tentang aku dan semuanya negatif. Bukan pembelaanku, tapi aku memang ga pernah berlaku aneh-aneh kok atau sengaja memakai baju yang ga sopan. Aku memakai seragam selayaknya anak SMP. Tapi tetap saja aku adalah objek perkataan-perkataan negatif mereka. Baru datang pagi-pagi saja aku sudah diteriaki dari atas, bahkan ada salah seorang dari mereka sms an dengan adik kelasku dan yah..isinya menyakitkan ya tentang aku. Aku melarikan diri ke belajar, di kelas aku berusaha memusatkan pikiran supaya aku ga usah mendengar omongan mereka yang aneh-aneh. Tahun itu benar-benar penuh derita, aku tertekan, dan terus-terusan takut. Rasanya cape juga. Pada saat itulah ketahanan mentalku benar-benar diuji. Pelajarannya tidak langsung kudapatkan saat itu juga, tapi agak lama setelah itu. Saat beberapa pelaku minta maaf, aku berusaha memaafkan dan lebih berhati-hati. Tapi ada satu orang yang menjadi biangnya, dan sangat susah untuk memaafkan orang itu, syukurlah dia keluar saat aku naik ke kelas 3. Kehidupan kemudian berjalan lancar saat aku masuk kelas 3 dan peristiwa di kelas 2 perlahan-lahan menipis, lalu hilang.



Sebenarnya ada satu bagian lagi yang ingin kutulis, yang berkaitan dengan kata—lagi-lagi—teman, tapi aku rasa sampai di sini saja. Maaf ya kalau ada yang merasa tersinggung dengan adanya tulisan ini. Tujuanku bukan untuk memojokkan atau mengingat-ngingat luka lama, tapi sekedar memutar ulang ’film’ kehidupanku, tersenyum dan merasakan pedihnya kenangan saat itu, dan bersyukur akan apa yang kujalani, kupelajari, dan kuingat selama 17 tahun ini. Banyak masalah, manusia pasti memiliki masalah dari waktu ke waktu, bahkan saat aku menulis ini pun, masih ada masalah yang menggantung, tapi bukan penyelesaiannya sebenarnya yang penting, tapi pelajarannya. Sekedar pendapat, boleh setuju boleh juga ga.



"being naive is the best way to kill yourself in this world,,

No comments: